Sejarah Singkat Hijab dalam Islam

Setelah awal mula Islam muncul di Timur Tengah dan Afrika Utara, kemudian Islam masuk ke Eropa. Selendang dan kerudung dengan warna dan bentuk yang berbeda menjadi kebiasaan dalam budaya yang tak terhitung jumlahnya, jauh sebelum Islam terbentuk pada abad ke-7 di Jazirah Arab (termasuk Arab Saudi sekarang).
Sejak abad ke-7, Islam telah berkembang menjadi salah satu agama terbesar di dunia. Tapi baru belakangan ini beberapa negara Islam, seperti Iran, mulai mewajibkan semua wanita mengenakan jilbab (di Iran disebut chador, yang menutupi seluruh tubuh).
Sejumlah kritik terhadap tradisi hijab Muslim pun tidak sedikit. Beberapa berpendapat bahwa wanita tidak memakai hijab adalah hak pribadi mereka. Sebaliknya, banyak anak perempuan imigran Muslim di Barat berargumen bahwa hijab melambangkan ketekunan dan keshalihan. Jilbab itu adalah pilihan mereka sendiri. Bagi mereka, jilbab merupakan identitas dan ekspresi diri.
Jenis-jenis Hijab


Meskipun kerudung ini populer di seluruh dunia Muslim, Niqab tidak sedikit menciptakan banyak perdebatan di Eropa. Beberapa politisi telah memperdebatkan larangan tersebut, sementara yang lain merasa bahwa hal itu mengganggu komunikasi atau menciptakan masalah keamanan.


Perintah Berhijab dalam Al-QuranBerhijab (menutup aurat) diperintahkan Allah Swt. Beberapa ayat Al-Quran tentang perintah berhijab antara lain:
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat,” (QS. Al-A’raf [7]: 26).
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Ahzab [33]: 59).
“Dan hendaklah engkau tetap di rumahmu dan janganlah berhias serta bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu,” (QS. Al-Ahzab [33]: 33).
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung,” (QS. An-Nuur [24]: 31).
Sejarah Perkembangan Hijab dalam Islam dari Masa Ke MasaSejarah Perkembangan Hijab – Secara bahasa hijab diartikan sebaga pembatas yang memisahkan dua obyek. Jadi apapun yang memisahkan kedua obyek tersbut daopat dikatakan hijab. Hijab dalam arti bahasa ini dapat berupa tembok, kain, atau yang serupa dengan tujuan untuk menjadi tirai yang memisahkan kedua obyek (baca: pengertian hijab). Trend belakangan ini, hijab dimkanai dengan pakaian muslimah yang syar’i.
Menarik untuk kita cermati bersama, hijab dalam arti pembatas hingga berubah menjadi pakaian muslimah dari sejarah yang telah berlalu, sehingga tulisan ini berupaya memberikan gambaran asal mula penamaan hijab hingga masa sekarang.
Perkembangan Hijab Bangsa Kuno Selain Arab Jahiliah
Hijab telah dikenal oleh berbagai bangsa dan masyarakat Timur kuno sejak dahulu. Bentuk hijab yang dikenal oleh bangsa-bangsa tersebut sangat beragam. Hijab yang dikenal oleh wanita Yunani kuno berbeda dengan hijab yang dipakai oleh wanita Romawi dan Arab Jahiliah.
Menurut Eipstein konsep hijab dalam arti menutup kepala sudah di kenal sebelum datangnya agama-agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam). Tradisi penggunaan kerudung yang merupakan bagian dari hijab, sudah dikenal dalam hukum kekeluargaan Asyiria.Hukum ini mengatur bahwa istri, anak perempuan, janda, bila bepergian ke tempat umum harus menggunakan kerudung. Bahkan lebih jauh lagi ketika Adam dan hawa di turunkan ke bumi maka persoalan pertama yang dialami ialah bagaimana menutup kemaluan (aurat) (QS Thoha:121)
Adanya perhatian agama-agama samawi terhadap hijab dapat di ketahui dalam Taurat-perjanjian lama yang di penuhi oleh ayat- ayat yang berkenaan dengan hijab, kemudian di tetapkan oleh Isa Al-Masih manakala ia datang membawa injil-perjanjian baru. Banyak sekali ayat-ayat taurat dan injil yang menetapkan bahwa wanita pada zaman itu harus memakai hijab dan cadar.
Dalam hijab, Injil pasal kejadian, ayat 65, bagian 24 disebutkan : “Ia berkata kepada hamba-Nya : Siapa laki-laki yang berjalan menuju taman berjalan menuju kita? ‘Hamba itu menjawab : “Dia adalah tuanku. maka Maryam mengambil tudung dan menutup dirinya”. “Maha Ishaq memasukkan Maryam kepada khaba’. milik ibunya, kemudian ia memuliakannya.dan akhirnya wanita itu menjadi istri yang di cintainya.Hijab merupakan tradisi bagi Yunani dan Romawi sebelum datangnya Islam beratus-ratus tahun sebelumnya. Hijab memiliki peran yang penting dalam masyarakat Yunani, peradaban Yunani dapat hidup betahan lebih lama selama wanitanya masih mempertahankan tudung dan hijabnya.
Akhirnya peradaban yang maju itu mengalami kemerosotan dan kemunduran karena wanitanya dibiarkan bebas mutlak untuk melepaskan hijabnya dan mereka boleh mengerjakan apa saja, termasuk pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh kaum laki- laki, demi kebebasan.
Al-Allamah Larus mengungkapkan pendapatnya tentang pentingnya hijab: “Dahulu para wanita mengenakan kerudung bila hendak keluar. Mereka menutupi wajah-wajah mereka. Dan kain penutup wajah itu kni terbuat dari kain tenun tipis yang dipakai untuk melindungi wajah mereka dari debu dan embun.
Manakala, wanita Romawi tidak memakai hijab lagi dan mulai meninggalkan rumahnya, Imperium Romawi mengalami kemunduran hebat yang mengakibatkan runtuhnya Imperium Romawi yang besar itu.
Perkembangan Hijab Menurut Bangsa Arab Jahiliah
Bangsa arab pada zaman Jahiliah telah mengenal hijab. Mereka menganggapnya sebagai salah satu tradisi persahabatan dan percintaan. Anak wanita yang sudah mencapai usia masa kawin dan mulai menampakkan rasanya malunya, maka ia mengenakan hijab sebagai pertanda ia minta lekas dinikahkan, dan biasanya mereka dalam memakai hijab tidak hanya terbatas pada wajahnya, kecuali bila sedang ditimpa musibah. Ada beberapa syair tentang hijab yang ditulis oleh para penyair Arab di zaman Jahiliah :
Sejak Zubair bin Salma (yang menceritakan keluarga Al- Husain) : “Aku tidak tahu dan aku mesti akan tahu, Apakah aku sedang berdiri didepan keluarga Husain atau dihadapan para wanita, Bila dikatakan para wanita yang bersembunyi, Maka benarlah bahwa wanita yang melindungi dirinya mendapat ke hormatan.”Sajak Taufail bin Auf-Ghanawi: “Dengan penutup muka tidak akan mengurangi kehormatannya kemuliaannya tetap terjaga, dan kecantikannya dapat di nikmati bila telah tiba saatnya.”Hijab memiliki berbagai macam bentuk. Diantara bentuk tersebut adalah cadar. Sajak Taubah bin Al-Humair (buat kekasihnya, Laila Al-Akhliyah) “Manakala aku mendatangi Laila yang sedang bercadar, Aku ragu akan dia karena cadar yang di pergunakan”.
Bentuk hijab lain adalah kerudung (an-niqab). Penyair mengatakan “Kalau kerudung di kharamkan penggunaannya untuk wanita. Maka tidak di ragukan lagi mereka akan berubah menjadi jelek. Bentuk hijab lain adalah sejenis kerudung (al-khimar). Sajak An-Nabigyani : “Kerudung terjatuh padahal tidak hendak menjatuhkannya, Dengan sigap ia menyambarnya dengan tangan, Di remang cahaya, seakan jemarinya meraih kelembutan.”
Makna hijab lebih luas dari yang tersebut diatas. Ia mencangkup kamar pribadi wanita, yang dalam bahasa arab disebut dengan al-khaba’ dan al-khudr. Dua kata itulah yang sering di pakai oleh para penyair karena mengandung muatan makna keagungan, kesucian, dan keluhuran.
Sebab makna kata tersebut setara dengan tempat tinggal dan perlindungan wanita yang tidak mungkin terjamah oleh lelaki asing. Umru’ul Qays pernah mengungkapkan khaba’ kekasihya, Unaizah, sebagai berikut: “Putih kamar pribadi wanita tidak meragukan, Diriku meras puas mencandainya di bilik itu tanpa gusar.
Ada bentuk hijab yang lain seperti: sarung, selimut baju besi dan jilbab, serta sekedup yang dipakai untuk membawa wanita yang diletakkan diatas punggung unta.
Perkembangan Hijab Pada Masa Islam
Konsep hijab sebenarnya bukanlah milik Islam, jauh sebelum zaman Nabi saw, tradisi berkerudung sudah ada dan menjadi tradisi berbusana santun di kalangan perempuan-perempuan yang hidup jauh sebelum kelahiran Nabi saw.Tradisi penggunaan hijab dalam Islam berbeda dengan tradisi Yahudu dan Nasrani.
Dalam Islam, tradisi penggunaan hijab tidak ada keterkaitan sama sekali dengan kutukan atau menstruasi. Dalam Islam, hijab dan menstruasi pada perempuan mempunyai konteksnya sendiri.Penggunaan hijab lebih dekat pada etika dan estetika dari pada kepersoalan substansi ajaran (baca: Pandangan ulama tentang hijab). Perintah penggunaan hijab dalam Islam di dasarkan pada dua ayat dalam Al-Qur’an yaitu QS. Al-Ahzab/33:59 dan QS.An Nur/24:31.
Kedua ayat di atas turun setelah peristiwa fitnah keji terhadap Aisyah yang di lakukan oleh Abdullah Ibn Saba’ dan teman-temannya dari kaum munafik Madinah. Peristiwa terhadap Siti Aisyah ini disebut peristiwa Al-Ifk.
Peristiwa ini sangat menghebohkan, sehingga untuk mengakhiri harus di tegaskan dengan diturunkannya lima ayat yaitu (QS.An-Nur/24:11-15) khusus untuk membersihkan nama baik Aisyah.
Sejak peristiwa tersebut, turun ayat lain yang cenderung membatasi ruang gerak keluarga Nabi, khususnya dalam dua ayat di atas. Ayat ini turun (QS. Al-Ahzab/59 dan QS. An-Nur/31), karena masyarakat Madinah ketika itu berada dalam keadaan tidak tentram, yaitu situasi perang yang beruntun dan berkepanjangan.
Ketika itu kaum bangsawan mangenakan jilbab. Kaum ini hampir tidak pernah mendapatkan pelecehan seksual dari laki-laki nakal. Sehingga untuk melindungi masyarakat muslim di perintahkanlah untuk memakai jilbab.
Perkembangan Hijab di Indonesia
Seiring dengan perkembangan zaman, di Indonesia dikenal dengan pakaian penutup kepala yang lebih umum di sebut kerudung, tetapi tahun 1980 an lebih populer dengan jilbab (baca: pengertian jilbab). Jilbab pada masa Nabi Muhammad saw ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.
Di beberapa negara Islam pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti cadar di Iran, pardeh di India dan Palestina, milayat di libya, abayadi di Irak, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Afrika seperti Mesir, sudan, Yaman. Pergeseran makna hijab dari semula tabir berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan pada abad 4 H.
Beryi Causai Syamwil, yang termasuk generasi awal pemakaian jilbab di Indonesia. Dia menunjukan selendang tipis yang di kenakan perempuan Indonesia untuk menutupi sebagian rambutnya sebagai bukti dan proses menuju penggunaan jilbab. Selain itu Beryi juga menunjukan proses baju bodo, busana baju bugis yang pada awalnya hanya berupa selembar sutera halus yang tembus pandang, namun kemudian menjadi tujuh lapis ketika Islam masuk.
Daftar Rujukan
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 363
Maulana Wahiduddin Khan,Women Between Islam And Western Societi, (New Delhi : Nigprinting press, 2000),hlm.226
Nasarudin Umar, Antropologi Jilbab, Ulumul Qur’an Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, VI, 5, 1996, Hal. 36.
Cadar adalah sesuatu yang menutupi tubuh wanita, merupakan salah satu hijab yang dikenal di beberapa tempat, dahulu cadar tidak hanya menutupi wajah tetapi juga menutupi seluruh tubuh wanita agar tidak terlihat oleh pria asing.
Al- Khaba’adalah tempat tinggal wanita yang tertutup dari pandangan.
Abdurrasul Abdul Hasan Al- Ghoffar, Wanita Islam dan Gaya hidup Modern, Terj. Bahruddin Fahani, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 37
Nong Darol Mah Mada, Kritik atas Jilbab, http ://Islam Lib.com//id, hlm.3
Peristiwa Al-Ifk terjadi ketika Aisah tertinggal dari rombongan disalah satu medan perang ia mencari kalung permatanya yang hilang. Ketika itu Aisah sendirian di kemah, datanglah Sofwan Ibn Mu’attal al-Sulaimani dengan untanya lalu membawanya ke Madinah. Pecahlah isu yang tidak enak pada masyarakat. Dan ini dimanfaatkan oleh kaum munafik dengan koordinator Abdullah Bin Ubay
Hijab Indonesia: Sejarah yang Terlupakan
Jika kita diminta menyebutkan siapa saja pejuang Muslimah Indonesia, dengan mudahnya kita sebutkan nama-nama seperti Raden Ajeng Dewi Sartika, Rohana Kudus, Cut Mutia atau Raden Ajeng Kartini, tapi ketika kita diminta menyebutkan siapa pejuang Muslimah Indonesia yang berjilbab? Mungkin jawaban kita hanyalah Hajjah Rangkayo Rasuna Said, pejuang Muslimah asal Minang yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta.
Padahal, kalau kita mau mengkaji sejarah lebih dalam lagi kita akan menemukan nama-nama selain H.R Rasuna Said seperti Teungku Fakinah, Cut Nyak Dhien, Sri Sultanah Ratu Nihrasyiah

Selama ini seringkali kita dengar pula, hijab dan jilbab hanya dianggap sebagai budaya Arab dan bukan identitas Muslimah Indonesia ataupun warisan asli Nusantara yang diturunkan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Ternyata fakta sejarah tidak menunjukkan demikian, hijab merupakan identitas asli Muslimah Indonesia sejak berabad-abad yang lalu, meski pada awalnya hanya berupa kerudung yang ditaruh di atas kepala.
Lalu sejak kapan Muslimah Indonesia memakai hijab? Siapa yang pertama kali mempelopori pemakaian hijab di Nusantara? Kenapa masih ada pejuang Muslimah kita yang masih tidak berjilbab? Bagaimana jilbab pada saat itu?.
Identitas Mujahidah
Sejarah mengenai lahirnya jilbab dan siapa Muslimah yang pertama kali memakai jilbab di Indonesia belum diketahui secara pasti, ranah mengenai sejarah pasti lahirnya dan perkembangan hijab di Indonesia juga belum banyak tersentuh dan tidak banyak menjadi perhatian para sejarawan, peneliti sejarah ataupun mereka yang mengaku sebagai hijabers dan desainer dari hijab itu sendiri.

Hal ini terlihat pada lukisan yang dibuat oleh pemerhati Sejarah Aceh sekaligus pelukis kelahiran Aceh Utara, Sayeed Dahlan Al Habsyi. Dalam lukisannya, ia menggambarkan kedua Ratu tersebut (Ratu Nihrasyiah dan Ratu Safiatuddin) memakai baju lengan panjang dengan kerudung.
Buku yang ditulis oleh Sejarawan, Muhammad Ali Hasjmi (A. Hasjmi) berjudul “59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu” halaman 206, memperkuat lukisan Sayeed Dahlan.
Hasjmi menerangkan, dalam tahun 1092 H atau 1681 M (menurut catatan Muhammad Said tahun 1683 M), rombongan Syarif Mekkah ketika mendapat kesempatan menghadap Sulthanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, keheranan mereka jadi bertambah setelah sebelumnya terkagum-kagum melihat Banda Aceh yang cantik dan permai, dimana mereka dapati tentara pengawal istana terdiri dari prajurit-prajurit wanita yang semuanya mengendarai kuda. Pakaian dan hiasan kuda-kuda itu dari emas, suasa dan perak. Tingkah laku pasukan kehormatan dan pakaian mereka cukup sopan, tidak ada yang menyalahi peraturan Agama Islam.
Peneliti Sejarah Islam dari International Islamic University Malaysia (IIUM), Alwi Alatas juga menerangkan hal yang sama, ia menemukan ilustrasi pakaian wanita Aceh yang tertutup rapat.
“Buku Denys Lombard, ‘Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)‘, pada halaman 365 ada ilustrasi ‘an Achein woman‘ yang jilbabnya cukup rapat. Lombard menyebutkan bahwa gambar itu diambil dari naskah Peter Mundy, tahun 1637”, terang Alwi, Jum’at 19/04/2013.

Sama halnya Cut Nyak Dhien dengan kerudungnya, meski dalam lukisan dan fotonya, ia tidak digambarkan sebagai wanita yang berjilbab, namun dalam foto saat ia ditangkap oleh pihak Belanda menunjukkan Cut Nyak Dhien mengalungkan sebuah selendang di lehernya yang diperkirakan selendang itu berfungsi sebagai kerudung.
Rahmah El Yunusiyyah, yang di dalam foto terlihat sangat menutup auratnya dengan jilbab panjang dan baju yang tidak ketat, bukan hanya sekedar memakai kerudung tetapi benar-benar memakai hijab yang sempurna seperti yang disyariatkan. Begitu pula, Teungku Fakinah seorang mujahidah asal Aceh yang pada tahun 1873 turun dalam peperangan melawan agresi Belanda juga digambarkan sebagai wanita yang berjilbab.
Ada juga orang-orang Sunda yang biasa memakai kerudung putih yang dilipat di atas kepala. Mereka menyebutnya dengan mihramah atau mihram yang awalnya berasal dari bahasa Arab mahramah. (G.F Pijper, Fragmenta Islamica : Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, 1987, hlm. 18).
Kemudian kenapa masih ada Muslimah dan pejuang Muslimah yang tidak berjilbab? Apakah karena memang belum ada kesadaran dari mereka untuk menutupi seluruh auratnya?. Menurut peneliti sejarah Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo, Muhammad Isa Anshory, M.PI., hal ini dikarenakan masih sangat sulitnya pejuang Muslimah untuk mengakses banyak kitab sedangkan kitab Fikih yang dipakai stagnan (itu-itu saja, red).
“Karena pejuang Muslimah dulu sangat sulit mengakses kitab-kitab, kitab Fikih yang dipakai stagnan, hanya berupa kitab shalat, puasa dan lainnya, tidak seperti sekarang. Dulu Muslimah yg memakai penutup kepala dan kelihatan sedikit rambutnya bahkan sudah dianggap sebagai wanita terbaik pada jaman itu”, terangnya saat mengisi kajian tentang Sejarah Islam Indonesia, Surakarta, Kamis 18/04/2013.
Sehingga, jika menarik dari sejarah dan melihat penggambaran mengenai pakaian muslimah Indonesia pada saat itu, sudah dipastikan hijab merupakan identitas para mujahidah Nusantara.
Revolusi Jilbab

Dalam kongres tersebut, ia memperjuangkan pemakaian busana perempuan Indonesia yang hendaknya memakai kerudung. Selain itu, masih dalam kongres yang sama, ia juga berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia.
Namun kita juga tidak boleh lupa bahwa hak kita sebagai Muslimah untuk berhijab pernah dicabut oleh pemerintah pusat. Peristiwa ini berawal dari para siswi berjilbab di SPG Negeri Bandung yang hendak dipisahkan pada lokal khusus, mereka langsung memberontak atas perlakukan diskriminatif terhadap jilbab mereka. Melihat hal ini, ketua MUI Jawa Barat segera turun tangan hingga pemisahan itu berhasil digagalkan. Peristiwa ini pernah terjadi pada tahun 1979.
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan dan Menengah, Prof. Darji Darmodiharjo, SH., mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang implementasinya berujung pada pelarangan jilbab di sekolah.
Saat itu memang tengah gencar-gencarnya penggusuran para pemakai jilbab dari sekolah. Para Muslimah banyak yang hengkang dari studi demi konsisten untuk jalankan syariat. Mereka yang diusir dari sekolah karena jilbabnya, sampai membawa perkara ini ke pengadilan, bahkan, mungkin untuk yang pertama kalinya, keputusan tersebut berujung pada revolusi jilbab dan mengundang protes dari ribuan mahasiswa dan pelajar berjilbab di berbagai kota besar yang turun ke jalan. (Hemdi, Yoli, Ukhti… Hatimu di Jendela Dunia (Sebuah Torehan Wajah Perempuan dan Peristiwa) 2005).
Sejak terjadinya gelombang revolusi tersebut, keluarlah SK Dirjen Dikdarmen No. 100/C/Kep/D/1991 untuk mencabut larangan tentang pemakaian jilbab sebelumnya oleh pemerintah pusat.
Meski sejarah Hijab Indonesia, terutama pra Indonesia merdeka, belum banyak tersentuh tapi sebagai Muslimah Indonesia kita tetap harus mempertahankan syari’at yang sudah diturunkan oleh Allah SWT., terlebih setelah kita kaji lebih dalam, ternyata hijab merupakan identitas asli Muslimah Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar